PALU, BULLETIN.ID Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah menilai, kebijakan Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong yang mengeluarkan rekomendasi legalisasi tambang emas ilegal, sebagai langkah keliru dan berisiko besar terhadap masa depan lingkungan serta ketahanan pangan daerah.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Rekomendasi Bupati Parigi Moutong Nomor 600.3.1/4468/DIS.PUPRP, tertanggal 17 Juni 2025, yang mengusulkan perubahan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dengan total 53 titik tambang di 30 desa pada 23 kecamatan, mencakup area seluas 355.934,25 hektar.
Menurut WALHI Sulteng, luasan itu tidak masuk akal dan bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Parigi Moutong. Kabupaten ini dikenal sebagai wilayah penyangga pangan, perikanan, agrobisnis, dan pariwisata di Sulawesi Tengah. Berdasarkan RTRW, dari total 581.300 hektar luas wilayah Parigi Moutong, kawasan yang diperuntukkan bagi kegiatan pertanian, perikanan, dan permukiman mencapai sekitar 389.763 hektar. Artinya, ruang tersisa yang masih dapat dimanfaatkan hanya sekitar 191.537 hektar.
Namun, luas WPR yang direkomendasikan pemerintah justru melebihi kapasitas wilayah hingga 164.000 hektar, melampaui daya dukung lingkungan yang tersedia.
“Kebijakan ini menunjukkan pemerintah daerah tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan keselamatan lingkungan, tetapi tunduk pada kepentingan segelintir elit ekonomi-politik yang berusaha melanggengkan praktik tambang dengan dalih ‘tambang rakyat’,” ujar Wandi, Manager Kampanye WALHI Sulawesi Tengah, dalam keterangannya di Palu.
Dari Lumbung Pangan ke Lumbung Tambang
WALHI menilai, alih-alih memperbaiki tata kelola sumber daya alam dan menertibkan tambang ilegal, pemerintah daerah justru berupaya melegalkan kejahatan lingkungan yang selama ini menyebabkan kerusakan ekosistem dan kemiskinan struktural masyarakat.
Organisasi lingkungan ini menyoroti bahwa banyak tambang yang disebut sebagai “tambang rakyat” sebenarnya dikendalikan oleh pemodal besar, aparat, maupun pengusaha lokal, sementara masyarakat setempat hanya menjadi buruh tambang tanpa perlindungan keselamatan kerja dan lingkungan.
Kebijakan perluasan tambang dikhawatirkan mengubah wajah Parigi Moutong dari wilayah agraris menjadi kawasan eksploitasi sumber daya alam. Dampaknya tidak hanya pada hilangnya lahan pertanian dan perikanan, tetapi juga meningkatnya risiko pencemaran air dan tanah akibat penggunaan merkuri dan sianida di tambang emas.
“Jika tambang terus diperluas tanpa kendali, krisis pangan dan air bersih akan menjadi ancaman nyata. Parigi Moutong bisa kehilangan identitasnya sebagai lumbung pangan Sulawesi Tengah,” tegas Wandi.
Desakan WALHI untuk Cabut Rekomendasi Tambang
WALHI Sulawesi Tengah mendesak agar rekomendasi Bupati Parigi Moutong tersebut dicabut karena dinilai cacat prosedur dan tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan lingkungan. WALHI juga menuntut adanya audit lingkungan, penegakan hukum terhadap tambang ilegal, serta perlindungan hak masyarakat lokal, terutama petani dan nelayan yang ruang hidupnya semakin terdesak.
Dalam pernyataannya, WALHI Sulteng mengajukan empat poin sikap tegas:
- Mencabut Surat Rekomendasi Bupati Parigi Moutong Nomor 600.3.1/4468/DIS.PUPRP karena bertentangan dengan RTRW dan prinsip keberlanjutan lingkungan.
- Melakukan audit lingkungan dan penegakan hukum terhadap seluruh tambang ilegal yang masih beroperasi.
- Menjamin perlindungan hak masyarakat lokal serta memulihkan wilayah yang rusak akibat aktivitas tambang.
- Mengembalikan fungsi ekologis dan produktif Parigi Moutong sebagai wilayah penyangga pangan, perikanan, dan pariwisata berkelanjutan.
“Pemerintah seharusnya memperkuat ekonomi rakyat dan memulihkan lingkungan, bukan memperluas ruang eksploitasi. Jika kebijakan ini diteruskan, yang terjadi bukan kesejahteraan, tetapi bencana ekologis dan sosial berkepanjangan,” tutup Wandi.