POSO, BULLETIN.ID — Perjalanan hidup Riyanto, mantan narapidana terorisme asal Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso, menjadi kisah perubahan dan refleksi mendalam tentang makna perdamaian. Setelah bebas dari Lapas Kelas IIB Luwuk pada Maret 2022, ia kini memilih jalur berbeda: mendukung aparat keamanan menjaga stabilitas dan mencegah penyebaran paham radikal di wilayahnya.
Riyanto dulunya merupakan bagian dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT), jaringan teror yang sempat aktif di Poso. Ia terlibat dalam sejumlah aksi kekerasan yang berakar dari konflik sosial dan agama pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Kini, dua tahun setelah mendapatkan pembebasan bersyarat, ia kembali ke kampung halamannya dan menjalani hidup sederhana bersama keluarganya.
“Hidup dalam kebencian dan kekerasan hanya membuat saya kehilangan segalanya—waktu, keluarga, dan masa depan,” ujarnya saat ditemui di tempat kerjanya, di mana ia kini menekuni profesi sebagai buruh bangunan.
Riyanto mengaku, perubahan sikapnya bermula dari kesadaran pribadi selama menjalani masa hukuman. Ia menilai, aksi kekerasan yang dulu ia dukung justru telah melenceng jauh dari tujuan awal perjuangan.
“Dulu saya percaya bahwa perjuangan bersenjata bisa membawa perubahan. Tapi ketika melihat banyak korban tak bersalah, saya sadar itu bukan jalan yang benar,” ungkapnya.
Kini, Riyanto aktif berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan turut serta dalam berbagai kegiatan sosial di lingkungannya. Pada akhir pekan, ia kerap menghabiskan waktu bersama rekan-rekannya—termasuk beberapa eks napiter lain—dalam kegiatan positif seperti berburu burung atau kerja bakti lingkungan.
Lebih jauh, Riyanto menegaskan komitmennya untuk membantu aparat keamanan, khususnya Satgas Madago Raya, dalam menjaga keamanan wilayah Poso dan menghalau kembali masuknya paham radikal.
“Saya ingin Poso damai. Kalau dulu saya ikut merusak, sekarang saya ingin ikut memperbaiki,” katanya tegas.
Langkah Riyanto ini menjadi bagian dari upaya deradikalisasi yang kini mulai menunjukkan hasil di Poso. Dukungan mantan napiter terhadap program keamanan dan perdamaian menjadi sinyal positif bahwa proses rekonsiliasi di bekas wilayah konflik tersebut terus berjalan ke arah yang lebih baik.







