Cerita Perempuan One Pute Jaya, Menyulap Sampah Jadi Pundi Rupiah

  • Whatsapp
Perempuan One Pute Jaya
Hadijah sedang memisahkan magot dengan sisa sampah organik. Foto / Indrawati Zainuddin

MOROWALI, BULLETIN.ID  – Di balik tumpukan sampah yang selama ini dipandang sebelah mata, tersimpan potensi besar untuk perubahan. Di Desa Onepute Jaya, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, empat perempuan desa membuktikan limbah rumah tangga tak harus berakhir di tempat pembuangan akhir. Mereka menyulapnya menjadi kompos yang bernilai ekonomis, sekaligus menghidupkan harapan bagi keluarga mereka.

Salah satunya Hadija, ibu lima anak yang dulunya bekerja sebagai ibu rumah tangga, kini menjadi ujung tombak pengelolaan sampah Desa Onepute Jaya.

Setiap hari ia berjibaku dengan sampah rumah tangga yang dikumpulkan dari masyarakat. Sejak itulah ia tak lagi menghabiskan hari-hari nya di rumah.

“ kerja dari jam 7 pagi sampai selesai, biasa sampai 8 jam kerja dalam sehari” tutur Hadijah.

Hadijah dengan desakan ekonomi memilih menjadi pembuat pupuk kompos di TPS 3R One Pute Jaya. Setiap hari ia memilah untuk memastikan sampah organik dan non organik, setelah itu ia memisahkan magot dengan sisa sampah organik sehingga menghasilkan kompos dengan kualitas terbaik. Maggot adalah larva dari lalat, khususnya lalat tentara hitam

Aroma yang menyengat ia abaikan. Ia terlihat fokus pada pekerjaannya. Memisahkan magot dengan sisa sampah organik.  Pekerjaan ini dilakoninya selama 2 tahun, selama 8 jam perhari.

Dengan menjadi pembuat pupuk kompos, ibu lima anak ini kini mampu membantu ekonomi keluarga.  Di tempat barunya, kini ia menghasilkan Rp2 juta per bulan. Sebuah jumlah yang cukup besar jika dibandingkan penghasilan suami sebagai pemulung besi tua yang hanya  Rp. 500 ribu per minggu.

Sampah non-organik disalurkan kepada pengepul plastik, sedangkan hasil pengolahan sampah organik berupa kompos dimanfaatkan oleh Pemerintah Desa Onepute Jaya dan PT Vale Indonesia.

Sampah residu diangkut dari Masyarakat satu kali seminggu. Setelah sampah di drop salam kemudian organic dan non-organik kemudian dipisah oleh para pekerja. Sampah non-organik dipisahkan dari pembungkusnya, setelah murni kemudian dimasukkan kedalam mesin pencaca. Sampah-sampah mulai diangkut dari Masyarakat.

TPS3R ini melayani sebanyak 273 kepala keluarga, dengan jumlah sampah yang dikelola hingga Juni 2025 mencapai 37 ton sampah organik, 4 ton sampah anorganik, dan 141 ton sampah residu setiap bulannya.

TPS 3R One Pute Jaya. Foto / Indrawati Zainuddin

Tantangan yang Dihadapi

Sekalipun bahan-bahannya diperoleh secara mudah, namun kendala yang dihadapi cukup menantang. Salah satunya adalah sumber daya pengelola dan pemasaran. Beruntung, para pekerja mendapat pendampingan dari Lembaga W4C untuk mendampingi warga membuat pupuk kompos.

Lembaga W4C, atau lebih dikenal sebagai Waste4Change, adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan sampah berkelanjutan.

W4C menyiapkan 4 orang Tenaga pendamping. Mereka akan mendampingi warga hingga 2026 mendatang. Helda salah satu pendamping menjelaskan, sampah organik dan non organik dikumpulkan dari warga setempat. Sedangkan kohe (kotoran hewan) diambil dari desa tetangga. ‘’Kami beli kotoran hewan dari desa lain. Di Desa Onepute belum mencukupi,’’ katanya ditemui pada Selasa 22 Juli 2025.

Tantangan lainnya adalah pemasaran. Jamak dimanapun, pemasaran selalu menjadi masalah bagi pelaku usaha kecil. Helda pun mengakui ini. Saat ini,  kompos yang dihasilkan sebesar 500 – 600 kilo per bulan tidak bisa diserap konsumen. Jika hanya mengandalkan hasil penjualan dari masyarakat sekitar, maka tak akan memenuhi biaya produksi. Harga pupuk kompos dijual dengan harga Rp 5000 per kilogram.

Berita Pilihan :  Tobat, Eks Napiter Poso Kini Jadi Pendukung Perdamaian

Selama ini, penjualan masih mengandalkan pembeli dari warga setempat. Namun tak semua bisa terjual. Warga hanya bisa membeli antara 5 – 7 kilo per bulan. Agar terserap, pengelola berinisiatif menjual kepada pemerintah desa.

Ilham Koordinator Tim Pendamping mengakui sulitnya produk kompos mengakses pasar. Akibatnya, penghasilan tidak bisa menutupi biaya produksi. Untuk sementara ungkap dia, biaya produksi masih disubsidi oleh pemerintah desa.

Ia berharap kesadaran warga untuk menggunakan pupuk organik semakin membaik, sehingga pupuk kompos produksi warga Desa Onepute bisa berkembang.

Alur Pembuatan Pupuk Kompos

Sampah yang diangkut dari masyarakat sebenarnya sudah melalui tahap pemilahan awal. Namun, setibanya di rumah produksi, sampah-sampah itu kembali disortir dengan lebih teliti. Petugas memisahkan antara sampah organik dan non-organik, lalu memilah lagi sampah organik dari sisa-sisa pembungkus plastik atau bahan sintetis lainnya.

Sampah organik yang benar-benar bersih kemudian dimasukkan ke dalam mesin pencacah. Hasilnya berupa bubur organik, yang selanjutnya dipindahkan ke area fermentasi untuk diproses menjadi pupuk kompos.

Proses fermentasi dimulai dengan menyiramkan MOL (Mikro Organisme Lokal) ke dalam bubur organik. MOL biasanya dicampur dengan bahan tambahan seperti kohe (kotoran hewan), sekam padi, atau serbuk kayu. Campuran ini kemudian didiamkan selama kurang lebih satu minggu agar proses dekomposisi berjalan optimal. Setelah itu, adukan di balik secara berkala untuk memastikan semua bagian mendapat udara dan membusuk merata. Selanjutnya pupuk kompos akan matang diumur 4-5 minggu dan siap dikemas kemudian dipasarkan.

“kompos yang kami hasilkan sudah diuji lap dan hasilnya sudah sesuai dengan standarnya” tutur Tri Puji Nurjannah ketua pengelola TPS One Pute Jaya.

Tri Puji Nurjannah ( ketua pengelola TPS 3R One Pute Jaya menjelaskan alur pembuatan pupuk kompos . Foto/ Indrawati Zainuddin

Keterlibatan PT Vale Indonesia di Lingkar Industri

Operasional pembuatan kompos kembali bergairah pada 2023, sejak masuknya PT Vale membangun fasilitas rumah produksi. Selain itu, PT Vale yang beroperasi di wilayah Bahomotefe – Morowali ini juga menggandeng pihak ketiga W4C untuk mendampingi warga.

Selain dua jenis bantuan tersebut, PT Vale juga memberikan  kendaraan roda 3 untuk mengangkut sampah dari rumah warga ke rumah produksi.

Asriani Amiruddin, Manager Eksternal Relations PT Vale Indonesia Tbk IGP Morowali, mengatakan, PT Vale hanya akan membantu usaha warga yang sudah berjalan. Menurut dia, pihaknya tidak akan membawa bantuan baru jika itu tidak dikerjakan oleh warga sebelumnya.

Ia khawatir bantuan semacam itu tidak akan berhasil karena warga masih perlu penyesuaian. ‘’Biasanya kalau habis bantuan habis juga pekerjaannya. Kita tidak mau seperti itu,’’ katanya.

PT Vale sendiri yang beroperasi sejak 2015 – 2024, setidaknya telah memberikan program sosial pada 17 desa pemberdayaan. Masing-masing di Kecamatan Bungku Timur dan Bahodopi  Kabupaten Morowali.

Program itu antara lain, pertanian sehat dan ramah lingkungan di 4 desa, yakni, Desa Kolono, Bahomoahi, Ulurere, One Pute Jaya. Selain itu ada pelatihan sanitasi, bantuan motor sampah, pengembangan wisata, pelatihan  barista, pasar desa, ambulans dan Posyandu serta jalan akses desa.

Penulis & Foto : Indrawati Zainuddin

Pos terkait