PALU, BULLETIN.ID — Memperingati Hari Bumi Sedunia yang jatuh pada 22 April, puluhan aktivis lingkungan, mahasiswa, organisasi pemuda dan perempuan di Sulawesi Tengah yang tergabung dalam “Fraksi Bersih-Bersih” menggelar aksi damai di depan Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah.
Mengangkat tema “Jaga Bumi, Jaga Demokrasi”, aksi ini digelar sebagai bentuk protes atas masifnya eksploitasi sumber daya alam di wilayah Sulteng serta lemahnya komitmen negara dalam perlindungan lingkungan hidup. Peserta aksi membentangkan spanduk, membawa poster berisi tuntutan, serta menutup mulut dan hidung dengan lakban dan masker—simbol perlawanan atas pembungkaman suara rakyat dan polusi yang membahayakan masyarakat.
Wandi, Koordinator Lapangan dari Walhi Sulteng, dalam orasinya mengungkapkan bahwa pemerintah masih menggantungkan pembangunan pada sektor industri ekstraktif seperti pertambangan nikel, perkebunan sawit, serta proyek strategis nasional yang mengorbankan kawasan hutan. Ia menyebut bukaan hutan yang masif menjadi bom waktu yang mempercepat krisis iklim dan sosial.
“Di Sulawesi Tengah, lebih dari 1,3 juta hektare hutan telah masuk dalam konsesi proyek-proyek besar, mulai dari Kawasan Pangan Nusantara, ekspansi sawit, hingga tambang. Ini bukan pembangunan, ini perampasan ruang hidup rakyat,” tegas Wandi.
Kritik serupa disampaikan Wulan dari Solidaritas Perempuan (SP), yang menyoroti dampak eksploitasi sumber daya alam terhadap perempuan adat. Menurutnya, perempuan semakin termarjinalkan dan kehilangan akses terhadap sumber kehidupan.
Sementara itu, Aziz dari Yayasan Tanah Merdeka (YTM) menjelaskan bahwa penggunaan masker dan lakban dalam aksi ini melambangkan dua hal: polusi udara yang menyebabkan penyakit seperti ISPA di wilayah-wilayah industri, dan pembungkaman terhadap aktivis yang dikriminalisasi karena membela lingkungan.
“Kami tak percaya lagi pada partai politik yang mendukung perusakan lingkungan lewat kebijakan dan regulasi. Disahkannya UU TNI/Polri hanya akan semakin memperkuat represi terhadap rakyat yang menuntut keadilan,” seru Aziz.
Aksi ditutup dengan pembacaan puisi oleh perwakilan KPA dan Relawan Muda KPKP-ST, serta orasi penutup dari Lia Somba (KPKP-ST) yang menyoroti dampak lingkungan terhadap perempuan dan anak-anak. Ia menegaskan bahwa kerusakan lingkungan turut memperbesar kerentanan perempuan terhadap kekerasan dan kemiskinan.
“Eksploitasi sumber daya alam bukan hanya menghancurkan hutan, tapi juga menghancurkan kehidupan, terutama bagi perempuan dan anak-anak,” ujar Lia.
Aksi ini diakhiri dengan pembacaan tuntutan serta menyanyikan lagu perjuangan “Darah Juang” sebagai bentuk solidaritas dan perlawanan terhadap ketidakadilan lingkungan.
Aksi ini diinisiasi oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil di Sulteng seperti Walhi, JATAM, Yayasan Tanah Merdeka, KPKP-ST, Solidaritas Perempuan, Mahardika Palu, KPA, dan Perhimpunan Evergreen Indonesia (PEI).